“Bussemaker (119-1929), menjadi wali kota pertama. Tapi, waktu itu balai kota belum ada,” kisah Dwi.
Di bawah pengawasan Bussemaker, dibikinlah sayembara rancangan balai kota. Banyak desain yang yahud, tapi belum menjawab tantangan bahwa Malang akan menjadi kota besar. Namun, rancangan HF Horn terbaik dari peserta lainnya. “Akhirnya karya dia yang dipakai dengan modifikasi bentuk agar bangunan nanti bisa dikembangkan,” jelas Ketua Yayasan Inggil ini.
Pada 1927, dibangunlah Balai Kota Malang yang bergaya arsitektur kolonial Indische Empire.
Tahun 1929, gedung itu ditempati wali kota ke II, Ir EA Voorneman. “Di masa Voorneman, kota dibangun dengan agresif. Master piece-nya kawasan vila Ijen,” terangnya.
Yang menarik, lanjut Dwi, dinas pertama dan utama yang dibentuk adalah dinas drainase kota. Mengacu pada pembangunan kota modern yang terarah, Voorneman menempatkan drainase sebagai urusan penting dalam perancangan kota. Saat itu, ia juga dibantu perancang kota andal, Ir Herman Thomas Karsten. Selanjutnya, ide cemerlang Karsten tertuang dalam perencanaan pembangunan (bouwplan I-VIII).
Tantangan Zaman
Meski kini Balai Kota Malang masih tegak berdiri, bukan berarti lepas dari ancaman. Tahun 1990-an, wajah balai kota sempat dipermak bergaya country. Kondisi ini memicu pro kontra, hingga akhirnya pada 2002, wajah asli balai kota dikembalikan.
Ancaman lainnya terkait upaya memindahkan pemerintahan di Tlogowaru, Kedungkandang. Akibatnya, ujar Dwi —andai pemerintah daerah tak peduli— tidak mustahil jika kelak gedung balai kota ‘dilemparkan’ ke investor. Siapa tahu?
No Response to "Drainase Dulu, Bangunan Belakang"
Post a Comment