Topeng di Tengah Dinoyo

Categories:

Reza Praditya Yudha
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Malang
reza...@hotmail.com

Siapa yang tidak kenal macetnya Jl MT Haryono, Malang, terlebih ketika jam pulang sekolah atau weekend? Suatu kali bersama teman, saya mencoba menghindari macet dengan masuk sebuah jalan kecil tepatnya Gang XIII.
Menyusuri jalan sempit dan tidak rata, tiba-tiba saya terpana dan menyuruh teman saya berbalik ke sebuah SD. Sejak sebulan sebelumnya saya membantu seorang dosen meneliti Kesenian Topeng Malang. Hasil observasi sementara, dapat disimpulkan eksistensi Topeng Malang mulai punah. Terutama di wilayah kota, jarang ditemui sanggar seni atau sekolah yang melestarikan seni tari dan topeng khas Malang tersebut.
Sore itu, saya melihat lima bocah lelaki memakai topeng dan mengenakan selendang khas Topeng Malang. Melalui sebuah tape recorder kecil, seorang lelaki usia 33 tahunan mengawasi dan kadang berteriak memberikan instruksi. Mereka terlihat bersemangat tidak peduli peluh yang menetes atau kaki telanjangnya yang memerah.
Saya memberanikan diri mendekat karena melihat aktivitas mereka tidak umum di tengah kota yang padat ini.
Budi Setiawan, demikian nama pelatih itu, menjelaskan Seni Topeng Malang menjadi kegiatan ekstrakurikuler SD Dinoyo III sejak Mei 2009. Selain guru ekskul tari, ia merangkap sebagai guru Olahraga dan Bahasa Inggris.
Ketika SD tersebut akan mewisuda lulusannya, tebersit ide menampilkan tari Topeng Malang. Kebetulan, hobi menarinya telah dibekali pelatihan di Sanggar Tlogo Budoyo sejak 2005. Kemudian, di sanggar lain, Ang Hing Ho-Klenteng, ia bertemu dengan teman yang lebih mahir Tari Topeng Malang. Akhirnya, ia memberanikan diri mengusulkan pembentukan ekskul Tari Topeng Malang di sekolah itu.
Meskipun belum mempunyai kostum sendiri dan hanya menggunakan peralatan sederhana, Budi bertekad tetap menjaga eksistensi kesenian ini. Semangat itu ditularkan pada muridnya dengan menggelar latihan tiap Sabtu. Latihan digelar dua gelombang secara bergiliran, khusus siswa-siswa, kemudian siswi.
Bocah-bocah laki-laki itu, diceritakan Budi, begitu antusias tiap kali latihan. Mereka tidak malu, bahkan begitu bangga tiap kali pentas. Pun, mereka tidak mengharap imbalan apapun dalam sebuah pentas.
“Mereka hanya mencintai aktivitas ini. Tidak pernah berharap dibayar atau mendapat nilai tambahan,” ujar pria ramah tersebut.
Semangat Budi dan siswa-siswa tersebut memberi pelajaran bagi saya untuk memahami kesenian bukan hanya dari permukaan. Daripada ribut-ribut mempermasalahkan asal sebuah kesenian, ada yang lebih patut mendapat perhatian. Yang terpenting adalah terus mewariskan pada generasi muda. Lebih jauh, langkah konkret siswa-siswi tersebut dapat menghindarkan sebuah kesenian diklaim bangsa lain. Mereka tak perlu berteriak-teriak. Budi dan para siswanya langsung bergerak untuk mencintai kesenian itu.
Tidak perlu malu atas status kesenian tradisional atau gender kita. Ke depan, globalisasi akan mengangkat hal-hal yang bernilai lokal dan berbeda. Termasuk melestarikan kesenian tradisional, akan menjadi investasi bangsa Indonesia. Sekaligus sebagai pelampiasan dari rasa jenuh ditengah isu korupsi atau terorisme.n

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Topeng di Tengah Dinoyo"

Post a Comment