Guru Besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang
Musim orang tua atau keluarga berburu perguruan tinggi (PT) telah tiba. Ada yang memburu PT dengan cara berselancar di dunia maya (cyber) atau melalui jaringan internet, sementara ada yang mendatangi berbagai PT dengan cara meminta informasi atau mengambil brosur.
Mereka bermaksud mencarikan PT yang menurutnya terbaik, setidak-tidaknya terbaik menurut standar gosip atau wacana di masyarakat. Ketika suatu komunitas menyebut beberapa PT yang layak diburu, maka orang tua umum mencari informasi selengkap-lengkapnya mengenai mekanisme masuk PT tersebut.
Bukan itu saja, tidak sedikit di antara orang tua yang kemudian membangun “komunikasi” atau mencari informasi lebih lanjut yang bersifat pragmatis dengan beberapa pihak ketiga, yang dimungkinkan bisa membantu mengarahkan atau memasukkan anaknya ke PT itu.
Masih santer terdengar, bahwa masuk ke sejumlah PT yang jadi objek buruan itu, harganya jauh lebih mahal dibandingkan yang tertera dalam brosurnya, manakala kalangan orang tua memaksakan untuk memasukkan anaknya. Di balik harga yang tertera, yang sebenarnya sudah mahal, masih diikuti kesanggupan-kesanggupan atau “MoU” untuk berani mengeluarkan uang tambahan.
Orangtua bisa terjebak dalam jalan seperti itu, tidak lepas dari kebijakan PT sendiri yang mengobral jalur (bukan hanya PMDK dan SNMPTN). PT tidak merasa cukup dengan dua jalur penerimaaan mahasiswa baru, tetapi menggunakan delapan jalur atau lebih. Ini memberikan kesempatan bagi orang tua untuk memilihnya secara liberalistik.
Dari sejumlah jalur yang disediakan oleh PT tersebut, ada beberapa jalur di antaranya yang dipersiapkan untuk menjaring anak-anak dari komunitas “ningrat” atau golongan elitisme. Ini tak lepas dari kebijakan PT yang berambisi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, yang target ini hanya bisa dipenuhi bilamana komunitas elit bisa dirangsang untuk masuk ke PT.
Jalur itu ternyata membuat masyarakat benar-benar terbuai. Ketika orang tua menghadapi realitas kegagalan anak-anaknya masuk PT melalui jalur PMDK dan SNMPTN, mereka tidak berhenti untuk memburu PT lewat jalur lain. Jalur lain inilah yang membuat lahirnya stigma ”PT ningratisme”, pasalnya harga yang harus dibayar untuk bisa masuk PT ini sangat mahal.
Berburu Tiket Masa Depan
Repotnya, tidak sedikit orang tua yang sebenarnya kadar kemampuan ekonominya pas-pasan yang memaksakan diri supaya anaknya diterima di ”PT ningratisme”. Mereka menganggap, tempat itu cocok untuk anaknya. Ini dapat sebagai garansi masa depan anaknya.
Mereka itu berasumsi kalau label ”PT ningratisme” masih menjadi harga mahal yang bisa diterima oleh masyarakat ketika anaknya lulus. ”PT ningratisme” diidentikannya sebagai bagian dari kepanjangan tangan untuk anaknya yang mencita-citakan hidup ningrat. Mereka menyikapi kehadiran ”PT ningratisme” ini sebagai representasi dan mediasi kekuatan strategis yang bisa mengubah atmosfer kehidupannya yang tidak berdaya menuju keberdayaan.
Idealnya, orangtua tidak perlu tergiring memasuki jebakan itu, apalagi komunitas orangtua miskin atau berpenghasilan pas-pasan. Dunia pendidikan memang bisa ditempatkan sebagai alat untuk membangun borjuisme sosial atau menguatkan status sosial, akan tetapi sejatinya dunia pendidikan (PT) berorientasi membebaskan manusia dari ketertindasan, memanusiakan manusia, menjauhkan manusia dari keterjajahan, dan membebaskan bangsa (negara) dari keterpurukan.
Bagaimana mungkin mahasiswa yang masuk dalam ”PT ningratisme” bisa diharapkan melakukan dan membumikan peran-peran fundamental yang berelasi dengan problem kemanusiaan, kebangsaan, atau kemasyarakatan? Bagaimana mungkin mereka mau bergiat diri sebagai pilar perubahan (agent of change) yang berelasi dengan dekonstruksi penyakit yang melukai keadilan, kebenaran, dan kejujuran, serta pembebasan derita rakyat, kalau dunia PT yang dimasukinya, sejak awal mereka dididik atau dijerumuskan menjadi ”priyayi” (elemen ningrat) yang membenarkan individualistas dan kapitalistik?
”PT ningratisme” hanya menawarkan harga atau menggiring masyarakat membelanjakan uang sebanyak-banyaknya agar membelinya. ”PT ningratisme” tidak ubahnya dunia PT lainnya yang berharga murah, yang faktanya menyelenggarakan proses pembelajaran, yang dalam ranah ini, setiap elemen PT, khususnya mahasiswa, dikondisikan menjadi pembelajar yang baik dengan dukungan fasilitas yang sedikit lebih unggul.
Pendidikan tidak cukup dengan membayar mahal dan fasilitas lebih eksklusif, pasalnya pendidikan menuntut bekerjanya semua elemen yang mendukungnya. Uang banyak memang bisa mengantarkan anaknya orang kaya bisa menaklukkan ”PT ningratisme”, akan tetapi anak-anak (mahasiswa) yang sudah masuk ke ”PT ningratisme” belum tentu bisa mengembalikan biaya besar yang dikeluarkannya.
Memaksakan (mengharapkan secara berlebihan) mereka (mahasiswa) yang sudah masuk di ”PT ningratisme” supaya kelak (ketika lulus) menjadi komunitas borjuis atau golongan elite gaya baru di masyarakat ibarat memasukkannya ke jalur pengebirian idealismenya atau menjebaknya masuk dalam lingkaran setan bernama penghancuran nilai-nilai agung.
Kalau sudah seperti itu, dunia PT, khususnya ”PT ningratisme” ikut menanggung beban sosial atas kemungkinan menjalar dan menyebarnya berbagai penyakit penyalahgunaan kekuasaan atau sejumwlah lulusan PT yang terlibat praktik-praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Ini telah menjadi bagian dari korporasi edukasi, yang membuat masyarakat menjatuhkan opsi salah dalam mengirimkan anak-anaknya ke PT. Pengelola ”PT ningratisme” perlu menimbang ulang kesalahan ambisi kapitalismenya dan menggantikannya dengan misi humanitas. Apalah artinya bisa membangun ”PT ningratisme” kalau kelak yang akan mengisi bursa kehidupan berbangsa dan bernegara ini bukan sosok pengabdi, melainkan kumpulan manusia yang suka membarterkan profesinya.n
No Response to "Jebakan PT Ningratisme"
Post a Comment