'Kanibalisme' di Industri Kecil Olahan Apel Malang

Categories: ,


Suhendra - detikFinance

Malang - Persaingan ketat saling 'membunuh' antara pelaku industri kecil menengah (IKM) merupakan bagian kecil dari permasalahan sektor ekonomi kerakyatan ini. Misalnya yang dialami oleh para pelaku Industri Kecil dan Menengah (IKM) olahan Apel Malang di Jawa Timur.

Syamsul Huda, salah satu pelaku industri kecil makanan olahan Apel Malang, mengatakan fenomena saling 'membunuh' antara pelaku bisnis memang tak bisa dihindarkan. Persaingan harga yang ketat dan saling menjatuhkan membuat banyak pelaku IKM makanan olahan di kota Batu Malang rontok silih berganti.

"Di Batu saling jatuh-jatuhan harga, mereka mencoba meminimalisasi biaya, tapi ujung-ujungnya pada penurunan kualitas," kata Syamsul kepada detikFinance di kediamannya, Batu Malang, Senin (16/5/2011).

Padahal kata dia, produk olahan apel dan lainnya merupakan produk oleh-oleh yang menjadi ciri khas kota Batu Malang. Produk oleh-oleh, menurutnya harus memiliki karakter yang kuat dari sisi kualitas dan kemasan yang sangat menarik, akhirnya berkonsekuensi pada harga yang sedikit mahal.

Syamsul menuturkan beberapa tahun lalu pemain sari apel di Kota Batu saja sempat mencapai 40-an unit usaha, sementara usaha olahan kripik mencapai 20 unit usaha dan, jenang atau dodol apel berjumlah 16 unit usaha. Namun kini jumlah itu semakin menciut drastis, misalnya usaha sari buah apel hanya tersisa 30 unit usaha merek, kripik 15 usaha dan jengan hanya tersisa 12 usaha.

"Rata-rata yang gulung tikar bermain di segmen bawah," katanya.

Sebagai pemain yang sudah cukup stabil, ia tetap mengkhawatirkan persaingan yang saling menjatuhkan dari sesama pemain. Syamsul menganggap bersaing saling menjatuhkan harga merupakan praktik bisnis yang tak sehat.

Ia mengusulkan agar ada intervensi pemerintah seperti patokan atau kesepakatan harga terhadap produk-produk olahan makanan di Malang. Meski mirip kartel, justru adanya standar harga akan membuat pelaku usaha tidak saling membunuh, sementara bagi pemain yang tak mementingkan kualitas dengan sendirinya akan tergusur secara sehat.

"Sebab kalau tidak begitu, misalnya produk sari apel, perbedaan harganya sampai Rp 30.000, jeda harganya sangat jauh antara satu dengan yang lain," katanya.

Fenomena saling menjatuhkan antara sesama pemain industri olahan makanan di Batu bukan tak disadari oleh mereka. Para pemain ini sebelumnya sempat membentuk asosiasi dan koperasi namun karena tak kompak, berakhir kandas alias tidak jalan.

Meski banyak yang sudah gulung tikar, lanjut Syamsul, beberapa rekannya banyak yang masih penasaran membuka kembali usahanya. Walaupun ujung-ujungnya harus tutup lagi karena tak sanggup bersaing antara sesama pemain.

"Memang untuk supaya bertahan, perlu ada visi, kebersamaan. Perlu ada asosiasi. Perlu ada yang memfasilitasi asosiasi," katanya.

Cerita usaha olahan Apel Malang yang gulung tikar memang tak bisa dihindari. Misalnya nasib kurang beruntung dialami oleh Siswanto salah satu pelaku industri sari buah apel asal Pesanggrahan, Batu Malang. Siswanto mengaku kini ia sudah tak memproduksi sari buah Apel Malang padahal sebelumnya ia salah satu pemain terbesar di segmen produk ini.

"Sekarang saya sudah tak produksi lagi," katanya.

(hen/qom)
Sumber: detikcom

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "'Kanibalisme' di Industri Kecil Olahan Apel Malang"

Post a Comment