MALANG, KOMPAS.com — Beberapa tahun ini, di Kota Malang mulai menjamur panti pijat yang dikelola para pemodal non-tunanetra. Akibatnya, panti pijat yang dikelola para tunanetra tak laku, bahkan sudah ada yang gulung tikar.
Melihat kondisi demikian, Ketua DPC Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Kota Malang, Jawa Timur, memprotes dan mengeluhkan hal tersebut ke kantor DPRD Kota Malang, Senin (30/5/2011).
Protes ke kantor DPRD Kota Malang itu dipimpin oleh Ketua DPC Pertuni Kota Malang, Supriadi (46), dan dua anggota Pertuni lainnya, yakni Wahyu dan Wuryono. Ketiganya mengadu ke Komisi D DPRD Kota Malang.
Di Komisi D, mereka ditemui Ketua Komisi D Chistea Frisdiantara, dan anggota Komisi D, Sutiadji. Di depan anggota Dewan, Supriadi menyampaikan bahwa di Kota Malang sudah menjamur panti pijat yang dibangun oleh pemodal non-tunanetra.
"Menjamurnya panti pijat tersebut jelas dan sangat mengancam keberadaan panti pijat yang dikelola para tunanetra yang tergabung dalam Petuni Kota Malang," katanya.
Tragisnya lagi, aku Supriadi, pekerjanya adalah tunanetra yang diambil dari luar Malang. "Kami itu tak akan protes kalau yang buka panti pijat itu tunanetra sendiri. Persoalannya karena yang membuka orang normal yang modalnya besar," katanya.
Lebih lanjut, Supriadi mengatakan, pihaknya memikirkan masa depan tunanetra generasi selanjutnya. "Kalau saat ini sudah dikuasai orang normal dan pemodal, bagaimana nasib generasi tunanetra selanjutnya," katanya.
Ditemui seusai mengadu ke DPRD, Supriadi mengatakan, Pertuni Kota Malang beranggotakan 60 tunanetra. "Dari 60 orang itu, sebanyak 90 persen tunanetra membuka panti pijat sendiri. Bukanya di rumah masing-masing," katanya.
Membuka di luar rumahnya atau tempat khusus panti pijat sudah tak memungkinkan bagi mereka. Usaha mereka hampir pasti bakal tergerus pemodal non-tunanetra. "Bahkan dengan maraknya panti pijat baru itu, sudah ada yang gulung tikar karena tak laku lagi," katanya.
Di Kota Malang, panti pijat yang didirikan oleh pemodal non-tunanetra sekitar 10 panti. "Tiap-tiap pekerjanya, paling sedikit ada 8 orang, maksimal 90 pekerja. Mayoritas pekerjanya diambil dari luar Malang," katanya.
Selain memprotes menjamurnya panti pijat, Pertuni juga berharap Pemerintah Kota Malang memberikan bantuan untuk pengembangan panti pijat yang dikelola para tunanetra. "Sejak ada Petuni, kami tak pernah dapat bantuan dari pemerintah. Ikut pelatihan saja kami belum pernah," keluhnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi D DPRD Kota Malang Chistea Frisdiantara siap memperjuangkan aspirasi dari Pertuni. "Dewan akan memperjuangkan ke instansi terkait karena menjamurnya panti pijat yang dikelola orang non-tunanetra itu mengancam panti pijat yang dikelola para tunanetra," katanya.
No Response to "Panti Pijat Menjamur, Tunanetra Protes"
Post a Comment